Di antara dua hati
Pernahkah kalian makan wortel dan A(IPI) secara bersamaan?
Keduanya sama-sama baik untuk mata.
Yang satu tumbuh dari tanah, sederhana, alami, hadiah dari alam.
Yang satu datang dari laboratorium dan keahlian, dikerjakan dengan teliti, diolah melalui proses panjang hingga akhirnya tersimpan rapi di tangan pasien yang membutuhkan.
Dan betapa ironisnya, tubuh membutuhkan keduanya, meski fungsinya sama.
Sama-sama untuk melihat.
Sama-sama menjaga pandangan.
Sama-sama menyehatkan mata.
Tapi ini bukan soal vitamin A.
Ini bukan soal wortel, bukan pula soal tablet A(IPI).
Ini tentang aku.
Tentang seorang lelaki yang jatuh cinta pada dua hati sekaligus.
Yang satu tumbuh alami, tenang, apa adanya, hadir tanpa pernah diminta.
Ia datang seperti pohon yang tumbuh dari biji kecil namun menciptakan rimbun dalam waktu panjang.
Ia mencintaiku bukan dengan gegap gempita, bukan dengan kembang api, tidak dengan kalimat manis yang dramatis.
Ia mencintaiku pelan.
Dengan keheningan yang membuatku nyaman.
Dengan kesetiaan yang tidak pernah kutahu akan sekuat itu.
Yang satu lagi datang seperti kilatan listrik.
Melalui senyumnya yang tak biasa, melalui caranya menatap dunia, melalui sorot matanya yang menari seperti gelombang cahaya.
Ia tidak datang untuk menggantikan siapa pun.
Ia hanya hadir, begitu saja, tanpa aba-aba, tanpa izin, tanpa protokol penyambutan.
Dan anehnya, hatiku membuka pintu untuknya tanpa sempat bertanya kenapa.
Aku mencoba menyalahkan semesta.
Karena rasanya tidak mungkin aku mencintai dua orang sekaligus.
Tidak mungkin aku merindukan dua nama dalam detak yang sama.
Tidak mungkin aku menanti dua wajah dalam malam yang identik.
Tapi aku di sini, menjadi segala hal yang dulu keras kutolak.
Menjadi pengkhianat.
Yang paling kubenci.
Yang paling kutakuti.
Aku mencoba mengerti.
Bagaimana bisa?
Bagaimana mungkin sebuah hati yang dulu begitu yakin tiba-tiba bergetar untuk seseorang lagi?
Bagaimana mungkin aku melihat masa depan bersama seseorang, lalu seketika berharap seseorang yang lain juga ada di sana?
Aku ingin marah pada diriku sendiri.
Aku ingin memaki, ingin menuduh diriku pendusta, pembohong, manusia busuk tanpa pendirian.
Tapi semakin kutuduh, semakin aku sadar bahwa cintaku kepada keduanya bukan skenario yang kurencanakan.
Aku tidak bangun suatu pagi lalu memutuskan untuk jatuh cinta pada dua hati.
Rasa ini datang tanpa dibangun, tanpa disemai.
Rasa ini datang seperti hujan yang tak peduli apakah kau membawa payung atau tidak.
Aku sudah mencoba jujur.
Aku sudah mengatakan kepada orang yang telah kumiliki:
"Aku memilihmu."
Dengan segala keyakinan yang kupunya hari itu, aku memilihnya.
Sebab dialah rumahku.
Dialah tempatku pulang.
Dialah orang yang pernah kucari seumur hidup.
Tapi aku tidak sanggup meninggalkan yang satu lagi.
Dan betapa menyakitkan kalimat ini, bahkan untukku sendiri.
Kupikir cinta hanya satu arah.
Kupikir cinta tidak bercabang.
Kupikir cinta hanya ada dalam genggaman satu tangan, satu dada, satu nama.
Ternyata cinta bisa seperti laut yang memeluk dua pantai.
Dan aku adalah laut itu, terus bergerak tanpa mampu memilih garis mana yang ingin kudekap lebih lama.
Salahkah aku?
Jahatkah aku?
Jika iya, Tuhan hukum aku.
Beri aku rasa pedih di tempat yang paling hampa.
Beri aku murka agar aku sembuh dari kebodohanku sendiri.
Karena aku lelah menjadi manusia terbelah.
Lelah mencintai dalam dua arah namun tidak bisa benar-benar menggenggam keduanya.
Lelah merindukan tanpa bisa bersandar.
Aku coba membela diri. Rasa yang kedua bukan aku yang memintanya.
Ia datang dan mendobrak relung hatiku dengan tutur kata, dengan tawa, dengan sorot mata yang menawan dan tak bisa kulempar ke tempat lain.
Tahukah pepatah “dari mata turun ke hati”?
Itu nyata menghampiriku
dan aku tidak siap.
Aku ingin melepaskannya.
Tapi setiap aku mencoba menjauh, dunia justru mengumpulkan kami dalam ruang dan waktu yang sama.
Seolah semesta ingin menguji apakah aku sungguh ingin berhenti atau hanya pura-pura.
Dan yang paling menyakitkan adalah aku tidak menemukan jawaban.
Karena hatiku mencintai satu dengan cara yang benar.
Dan mencintai yang lain dengan cara yang tak sama.
Aku tahu ini egois.
Aku tahu ini salah.
Tapi aku terjebak dalam sebuah kenyataan getir:
Cinta tidak peduli apakah kita siap atau tidak.
Cinta tidak peduli apakah waktunya tepat.
Cinta tidak menunggu kita selesai memperbaiki diri.
Aku sering kali duduk sendirian ketika malam menua.
Kubiarkan pikiranku berjalan seperti film yang diputar ulang.
Aku memutar ulang pertama kali aku menggenggam tangan orang yang kucintai,
lalu memutar ulang senyuman orang kedua yang untuk pertama kalinya membuat lututku goyah.
Dan aku merasa bersalah pada keduanya.
Orang pertama tidak pantas disakiti.
Orang kedua tidak pantas dijadikan pelarian.
Sedangkan aku… tidak pantas dicintai oleh keduanya.
Jika aku berhenti mencintai yang pertama, aku menghancurkan rumah.
Jika aku melepaskan yang kedua, aku menghancurkan diri sendiri.
Maka aku berdoa.
Tuhan bantulah aku.
Ajari aku memilih tanpa membunuh hatiku sendiri.
Ajari aku menyakiti sesedikit mungkin, meski jalan keluar ini pasti menyakitkan.
Aku hanya ingin menjadi manusia yang utuh, bukan laki-laki yang dipeluk dua cinta lalu tenggelam dalam rasa bersalah.
Aku ingin bahagia tanpa mencuri kebahagiaan seseorang yang lain.
Aku ingin mencintai tanpa merusak cinta yang kumiliki.
Tapi sampai saat ini, aku belum sanggup.
Dan itulah lukaku yang paling sepi.
Mereka bilang, cinta itu sederhana.
Tapi kenyataan tidak sesederhana itu.
Kadang cinta menjelma menjadi persimpangan paling gelap dalam hidup.
Dan kita tidak pernah siap menghadapi lampu merah, lampu kuning, dan lampu hijau yang menyala bersamaan.
Aku tidak tahu bagaimana ini akan berakhir.
Yang aku tahu hanya satu yaitu ada dua pasang mata yang tidak bisa kulupakan
dan dua hati yang tak sanggup kupilih salah satunya tanpa menghancurkan sisi lain dari diriku.
Mungkin suatu hari aku akan berani.
Mungkin suatu hari aku akan memilih untuk pulang atau melepaskan.
Mungkin suatu hari aku akan menjadi lelaki yang pantas, bukan lelaki yang terbelah.
Tapi hari ini…
aku hanya manusia yang jatuh cinta pada dua hati
dan berharap langit mengerti bahwa aku tidak pernah menginginkan semuanya terjadi seperti ini.
Dan jika aku memang bersalah, Tuhan, hukum aku.
Tapi sebelum itu, tolong bantu aku memilih
karena aku ingin mencintai dengan benar
meskipun aku terlambat belajar caranya.
Yogyakarta, 08 Desember 2025


Komentar
Posting Komentar