Tolong Aku

 


Aku terkejut.
Bukan oleh kata yang terucap di ruang pemeriksaan itu, bukan pula oleh nada suara yang menjatuhkan hasil diagnosis dengan profesional dan datar. Aku terkejut oleh sesuatu yang jauh lebih menyakitkan. Aku terkejut oleh dunia yang berubah sikap terhadapku, seolah satu kata dalam berkas medis cukup untuk mencabut seluruh kemanusiaanku.

Dalam hidupku, rupanya ada satu keadaan di mana aku dihadapkan pada kewajiban yang tidak pernah kupelajari sebelumnya yaitu menerima penghakiman orang-orang atas diriku, tanpa diberi ruang untuk menjelaskan siapa aku sebenarnya. Orang-orang dengan mudahnya menganggap bahwa aku adalah sosok yang harus dihindari. Seakan keberadaanku sendiri adalah bahaya yang sewaktu-waktu bisa melukai mereka.

Aku masih orang yang sama.
Aku masih bernapas dengan paru-paru yang sama.
Aku masih mencintai hujan, kopi pahit, dan senyap di pagi hari.

Namun dunia tidak lagi melihat itu.

Setelah mendapatkan vonis skizofrenia, aku diperlakukan seolah-olah aku telah melakukan kejahatan besar yang tidak pernah bisa kuingat. Tatapan berubah. Nada bicara berubah. Cara orang berdiri di sekitarku pun berubah. Ada jarak yang tak kasatmata, tetapi begitu terasa. Jarak yang tidak dibuat oleh kakiku, melainkan oleh ketakutan mereka.

Hatiku hancur.
Bukan hancur yang meledak, bukan hancur yang berisik.
Hancur yang merayap perlahan, menggerogoti bagian-bagian kecil dari diriku yang dulu percaya bahwa dunia ini adil.

Aku pulang dengan langkah yang lebih pendek. Aku duduk lebih lama di kamar. Aku mulai mengukur setiap kata yang keluar dari mulutku, khawatir salah satu di antaranya akan dijadikan bukti bahwa mereka benar untuk takut padaku. Aku mulai meragukan diriku sendiri, bukan karena pikiranku berbahaya, tetapi karena dunia meyakinkanku bahwa aku harus diawasi.

Namun di balik semua itu, ada satu perasaan yang tidak banyak orang pahami.
Aku merasa lega.

Ya, lega.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku tahu apa yang selama ini terjadi padaku. Bertahun-tahun aku hidup dalam kebingungan. Serangan panik datang tanpa aba-aba. Jantungku berdegup seperti hendak melompat keluar. Nafasku tercekik oleh ketakutan yang tidak punya nama. Aku mengira aku lemah. Aku mengira aku gagal menjadi manusia yang tangguh. Aku mengira semua itu adalah kesalahan pribadiku.

Vonis itu memberi nama pada penderitaanku.
Ia memberiku penjelasan, bukan kutukan.

Aku tidak lagi harus bertanya-tanya apakah aku mengada-ada. Aku tidak lagi harus menyalahkan diriku setiap kali pikiranku terasa terlalu ramai atau emosiku terasa terlalu berat. Aku akhirnya tahu bahwa aku tidak sendirian, bahwa apa yang kualami adalah sesuatu yang bisa dipelajari, dipahami, dan ditangani.

Sayangnya, pemahamanku tidak sejalan dengan penerimaan lingkungan sekitarku.

Bagi beberapa orang, kata skizofrenia bukanlah penjelasan. Ia adalah alarm bahaya. Ia adalah cerita horor yang mereka susun sendiri dari potongan berita dan stigma lama. Mereka tidak melihat manusia. Mereka melihat ancaman.

Hatiku patah di sana.

Bukan karena mereka tidak mengerti, tetapi karena mereka tidak mau berusaha mengerti. Mereka memilih menjauh sebelum sempat bertanya. Mereka memilih menilai sebelum sempat mendengar. Aku menjadi asing di tempat yang dulu kuanggap rumah.

Ada rasa sakit yang tidak bisa dijelaskan dengan logika. Rasa sakit ketika kau tahu bahwa niatmu baik, tetapi dunia hanya melihat label di dahimu. Rasa sakit ketika kau ingin berkata, “Aku di sini, aku masih aku,” namun suaramu tenggelam oleh prasangka.

Aku tidak menyangkal bahwa aku punya keterbatasan. Aku tidak menutup mata terhadap kenyataan bahwa aku butuh bantuan, pengobatan, dan pendampingan. Tetapi aku menolak untuk didefinisikan semata-mata oleh diagnosis.

Jika memang aku berbahaya, tolong ingatkan aku.
Jika memang ada bagian dari diriku yang melukai, tunjukkan dengan kasih.

Aku tidak ingin dibiarkan sendirian dengan kesalahan yang bahkan mungkin tidak kusadari. Aku ingin belajar, memperbaiki, dan bertumbuh. Aku ingin dibantu, bukan disingkirkan.

Aku butuh kalian.
Bukan sebagai penjaga, tetapi sebagai sesama manusia.

Uluran tangan kalian berarti lebih dari sekadar empati. Ia adalah jembatan yang menghubungkanku kembali dengan dunia. Tanpa itu, aku berdiri di tepi jurang isolasi yang dalam, tempat banyak orang dengan kondisi sepertiku akhirnya terjatuh.

Hentikan stigma negatif terhadap orang dengan skizofrenia.
Kami bukan monster.
Kami bukan headline kriminal.
Kami bukan kisah seram yang layak dijauhi.

Kami adalah manusia yang sedang berjuang untuk tetap waras di dunia yang sering kali tidak ramah terhadap perbedaan. Kami ingin hidup normal bersama kalian. Kami ingin bercakap tanpa dicurigai. Kami ingin bekerja tanpa diawasi berlebihan. Kami ingin mencintai tanpa dianggap berisiko.

Aku ingin berkarya. Aku ingin menulis, mencipta, dan memberi makna. Aku ingin hidup, hidup yang sebenar-benarnya hidup. Bukan hidup yang terus-menerus dibatasi oleh ketakutan orang lain.

Aku menulis ini saat air mata mengalir deras. Air mata yang bukan hanya tentang kesedihan, tetapi tentang kelelahan yang menumpuk bertahun-tahun. Tentang harapan yang terus kutahan agar tidak mati.

Jika suatu hari kau membaca tulisan ini, dan kau mengenal seseorang sepertiku, ingatlah satu hal sederhana yaitu lihatlah manusianya terlebih dahulu. Diagnosis hanyalah bagian dari cerita, bukan keseluruhannya.

Aku tidak meminta dunia menjadi sempurna. Aku hanya meminta ruang untuk bernapas sebagai manusia.

Yogyakarta, 19 Desember 2025.
Ditulis saat air mata mengalir deras.

Komentar

Postingan Populer